BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada zaman modern sekarang ini kehidupan manusia sangat komplek sehingga mereka disibukkan oleh kebutuhan duniawi. Karena kesibukan-kesibukan duniawi itulah kebanyakan dari kita belum begitu paham dan mempraktekkan nilai-nilai luhur dalam Aqidah Islamiyah. Banyak masyarakat yang belum mengerti apakah arti Aqidah Islamiyah dan fungsi dari Aqidah Islamiyah itu sendiri.
Sesungguhnya manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk bertauhid di dalam Aqidah Islamiyah karena kemampuan akal pikiran yang dimiliki itu mengarahkan pada sikap yang rasionalistik bahwa Tuhan yang pantas disembah dan ditakuti adalah Allah Yang Esa yang memiliki kekuasaan Absolut.
Sikap tauhid dalam Aqidah Islamiyah sesungguhnya merupakan firman manusia, tetapi persentuhan dengan dunia luar yakni budaya yang semakin beragam terutama dimensi symbol bisa memperkuat atau meluluhlantakkan nilai-nilai Aqidah Islamiyah tersebut, karna dimensi symbol adalah rekayasa manusia untuk memberi makna bagi kehidupannya sangat berpengaruh dalam kehidupannya sehari-hari.
1.2 Rumusan Masalah
Pemahaman agama secara normatif memberi bobot muatan ajaran Agama Islam yang bersumber dari Al Qur`an dan Assunah, baik dibidang aqidah, Ibadah maupun Akhlaq manusia. Tanpa sistematika ajaran tersebut maka tidak akan mempunyai landasan dasar yang kokoh dan tidak akan dapat berkomunikasi kepada sesama secara baik sesuai dengan ajaran agama.
Adanya norma Agama yang berlandaskan wahyu itulah yang sesungguhnya membedakan Agama sebagai bagian masyarakat yang mempunyai corak tersendiri.
Pada keempatan inilah penulis mencoba menguraikan masalah-masalah yang ada didalam makalah ini.
Rumusan masalah yang akan kami bahas antara lain :
1. Pengertian Aqidah Islam.
2. Ruang Lingkup Aqidah Islam.
3. Sumber-sumber Aqidah Islam.
4. Kaidah Aqidah Islam.
5. Fungsi Aqidah Islam.
6. Dalil-dalil tentang Aqidah.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN AQIDAH ISLAM
1. Menurut Hasan al Banna
Hasan Al Banna mengatan bahwa aqa’id (bentuk jama dari aqidah) artinya beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya oleh hatimu, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak tercampur sedikitpun dengan keragu-raguan.
2. Menurut Abu Bakar Jabir Al Jazairy
Abu Bakar Jabir Al Jazairy mengatakan bahwa Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan firman. Kebenaran itu dipastikan oleh manusia di dalam hati dan diyakini kesahihan dan kebenarannya secara pastu dan ditolak dengan segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu
Aqidah Islam adalah segala perkara yang dipercayai umat Islam dengan mantap menurut akal sehatnya.
B. RUANG LINGKUP AQIDAH ISLAM
Menurut sistematika Hasan Al-Banna ruang lingkup Aqidah Islam meliputi :
1. Ilahiyat, yaitu pembahasan tentang segala susuatu yang berhubungan dengan Tuhan (Allah), seperti wujud Allah, sifat Allah dsb.
2. Nubuwat, yaitu pembahsan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, pembicaraan mengenai kitab-kitab Allah, mu’jizat Allah dsb.
3. Ruhaniyat, yaitu tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti jin, iblis, setan, roh dsb.
4. Sam'iyyat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sam'i, yakni dalil Naqli berupa Al-quran dan as-Sunnah seperti alam barzkah, akhirat dan Azab Kubur, tanda-tanda kiamat, Surga-Neraka dsb.
Al-Quran telah menetapkan rukun-rukun aqidah ini.
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ ءَامَنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, (al-Baqarah, 285)
Beberapa ulama juga menunjukkan lingkup pembahasan mengenai Aqidah Islamiyah dengan Arkanul Iman (rukun iman) yang meliputi :
1. Iman kepada Allah
Beriman kepada Allah adalah membenarkan dengan yakin akan eksistensi Allah dan keesaan-Nya, baik dalam perbuatan-Nya, Penciptaan alam seluruhnya maupun dalam penerimaan Ibadat segenap hamba-Nya, serta membenarkan dengan penuh keyakinan bahwa Allah mempunyai sifat kesempurnaan dan terhindar dari sifat kekurangan.
2. Iman kepada para malaikat-Nya
Beriman kepada malaikat ialah mempercayai bahwa Allah mempunyai makhluk gaib bernama malaikat yang tidak pernah durhaka kepada-Nya, senantiasa melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya.
3. Iman kepada kitab-kitab suci-Nya
Iman kepada kitab-kitab suci-Nya adalah mempercayai bahwa Allah telah menurunkan kitab-kitab-Nya kepada para Nabi dan Rosul
4. Iman kepada Rosul-Rosul-Nya
Iman kepada Rosul Allah adalah mempercayai bahwa Allah telah mengutus Rosul sebagai perantara untuk menyampaikan pesan kepada umat manusia yang berupa wahyu untuk dijadikan pedoman hidup agar selamat didunia dan akherat.Rosul juga memberi contoh teladan yang sebaik-baiknya bagi umatnya.
5. Iman kepada hari akhir
Iman kepada hari akher adalah mempercayai adanya kehidupan yang kekal sesudah kehidupan didunia yang fana ini. Berakhir termasuk proses terjadinya yang terjadi pada hari akhir itu mulai dari hancurnya kehidupan alam semesta dan isinya (qiyamah) sampai kepada pembalasan dengan surga atau neraka (jaza’)
6. Iman kepada takdir Allah
Iman kepada takdir Allah adalah mempercayai bahwa Allah telah memberi kadar, memberi ukuran, memberi batas tertentu dalam diri, sifat ataupun kemampuan maksimal pada makhluknya.
C. SUMBER AQIDAH ISLAM
Kata-kata “Sumber Hukum Islam’ merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir al-Ahkâm. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti ‘sumber hukum Islam’, mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashâdir al-Ahkâm oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-Syar’iyyah.
Yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syara’ yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum
Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).
Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, ‘‘uruf, madzhab as-Shahâbi, syar’u man qablana.
Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan. Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara’i.
Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad.
Keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman.
عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ:”كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟”، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟”قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟”قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو، قَالَ: فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ:”الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّ-ى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ”
“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw”.
1. Al-Quran Sebagai Sumber Akidah
Al Qur’an adalah firman Alloh yang diwahyukan kepada Rasululloh sholallahu ‘alaihi wassalam melalui perantara Jibril. Di dalamnya, Alloh telah menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh hamba-Nya sebagai bekal kehidupan di dunia maupun di akhirat.Ia merupakan petunjuk bagi orang-orang yang diberi petunjuk, pedoman hidup bagi orang yang beriman, dan obat bagi jiwa-jiwa yang terluka. Keagungan lainnya adalah tidak akan pernah ditemui kekurangan dan celaan di dalam Al Qur’an, sebagaimana dalam firman-Nya :
“Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Al An’am:115).
Alloh menurunkan Al Qur’an sebagai sumber hukum akidah karena Dia tahu kebutuhan manusia sebagai seorang hamba yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Bahkan jika dicermati, akan ditemui banyak ayat dalam Al Qur’an yang menjelaskan tentang akidah, baik secara tersurat maupun secara tersirat. Oleh karena itu, menjadi hal yang wajib jika kita mengetahui dan memahami akidah yang bersumber dari Al Qur’an karena kitab mulia ini merupakan penjelasan langsung dari Rabb manusia, yang haq dan tidak pernah sirna ditelan masa.
2. As Sunnah: Sumber Kedua
Seperti halnya Al Qur’an, As Sunnah adalah satu jenis wahyu yang datang dari Alloh subhanahu wata’ala walaupun lafadznya bukan dari Alloh tetapi maknanya datang dari-Nya. Hal ini dapat diketahui dari firman Alloh :
“Dan dia (Muhammad) tidak berkata berdasarkan hawa nafsu, ia tidak lain kecuali wahyu yang diwahyukan” (Q.S An Najm : 3-4)
Rasululloh sholallahu ‘alaihi wassalam juga bersabda:
“Tulislah, Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak keluar darinya kecuali kebenaran sambil menunjuk ke lidahnya”. (Riwayat Abu Dawud)
Kekuatan As Sunnah dalam menetapkan syariat-termasuk perkara akidah-ditegaskan dalam banyak ayat Al Qur’an, diantaranya firman Alloh yang artinya :
“Dan apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah dan apa yang ia larang maka tinggalkanlah” (Q.S Al Hasyr:7)
Dan firman-Nya :
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Alloh dan taatilah Rasul” (Q.S An Nisaa:59)
3. Ijma’
Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu. disebutkan أجمع فلان على الأمر berarti berupaya di atasnya.
Sebagaimana firman Allah Swt:
“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu. (Qs.10:71)
Pengertian kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti yang pertama dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang.
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara.
Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’. Kesepakatan’ itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:
a. Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena ‘kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.
b. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum syara’ hanya para mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara’ kesepakatan khusus ini tidak disebut Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.
c. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.
d. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.
Syarat Mujtahid
Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
a. Syarat pertama, memiliki pengetahuan sebagai berikut:
Pertama. Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an.
Kedua, Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.
Ketiga, Memiliki pengetahuan tentang masalah Ijma’ sebelumnya.
b. Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
c. Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.
Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al-Syariah.
Kehujjahan Ijma’
Apabila rukun ijma’ yang empat hal di atas telah terpenuhi dengan menghitung seluruh permasalahan hukum pasca kematian Nabi Saw dari seluruh mujtahid kaum muslimin walau dengan perbedaan negeri, jenis dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan perkataan maupun perbuatan baik secara kolompok maupun individu.
Selanjutnya mereka mensepakati masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu disepakati menjadi aturan syar’i yang wajib diikuti dan tidak mungkin menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah disepakati) garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus (dinasakh).
4. Qiyas
Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain,
Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.
Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.
Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs.5:90)
Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram.
Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
a. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama.
b. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
c. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.
Kehujjahan Qiyas
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.
Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.59:2)
Dari ayat di atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil pelajaran’, kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan qiyas’ memiliki pengertian melewati dan melampaui.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs.4:59)
Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.
Sementara diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad.
Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan wajib diamalkan.
Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.
Dalil yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah.[24]
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:
a. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.
b. Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs.
c. Hukm al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.
d. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.
D. KAIDAH AQIDAH ISLAM
Kaidah aqidah yang diambil dari buku “Ta’rif Am bi Dinil Islam, fasal Qaqaa’idul ‘Aqaid dari Syeikh Ali Thanthawi:
1) Semua hal yang ditangkap oleh alat indra kita, kita yakini keberadaannya atau kebenarannya. Kecuali bila akal kita menafsirkan sebaliknya berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah kita dapatkan mengenai kebenaran hal itu.
Contohnya, saat kita melihat pohon-pohon dari jendela kereta yang berjalan maka seolah-olah pohon-pohon di luar kereta bergerak.Hal ini karena otak kita menafsirkan demikian. Namun, setelah kita mengetahui bahwa yang bergerak adalah kereta dan bukan pohon-pohon diluar maka selanjutnya otak kita akan menafsirkan bahwa pohon-pohon tidk bergerak.
2) Keyakinan juga dapat diperoleh dari berita yang dibawa oleh si pembawa berita yang diyakini akan kejujurannya.Banyak hal yang kita ketahui hanya berdasarkan cerita orang lain tanpa kita harus mengalaminya sendiri.
Contoh kita dapat mengetahui bahwa kutub utara itu dingin dan bersalju hanya dengan membaca, melihat foto, dan menonton video tanpa harus datang langsung mengalami ke kutub utara.Begitu cerit-cerita sejarah jaman dahulu.Kita dapat mengetahuinya hanya dari cerita-cerita sejarawan yang kita yakini kredibelitasnya dalam ilmu sejarah.
3) Sesorang tidak berhak memungkiri wujud sesuatu, hanya karena alat inderanya tidak dapat menjangkaunya.
Contoh, kita tidak berhak memungkiri bahwa di permukaan kulit kita hidup banyak bakteri.Mata kita tidak dapat melihanya secara langsung. Harus menggunakan alat bantu berupa mikroskop. Nah, kita tidak berhak memungkiri bahwa tidak ada bakteri di kulit kita saat kita melihatnya dengan mata telanjang.
4) Seseorang hanya bisa mengkhayalkan tentang sesuatu hal yang sudah pernah dijangkau oleh alat inderanya.
Manusia tidak akan bisa mengkhayal sesuatu yang belum pernah dilihat/ didengar/diransakannya. Walaupun khayalan fiktif, pasti khayalan itu terbentuk dari unsur-unsur yang pernah dilihat/ didengarkan/ dirasakan sebelumnya.
Contoh ketika kita membayangkan kecantikan seseorang pasti kita menggabungkan hal-hal yang bersifat cantik yang pernah kita lihat.
5) Akal hanya bisa menjangkau hal-hal yang terikat dengan ruang dan waktu.
Akal hanya bisa menjelaskan kapan dan dimana terjadinya suatu peristiwa hanya jika peristiwa itu terjadi terlebih dahulu.
6) Iman adalah fitrah setiap manusia.
Pada saat seseorang, sorang atheis pun, dalam keadaan kritis dalam menghadapi permasalahan hidup, fitrahnya akan menuntun dia untuk meminta pertolongan kepada suatu Zat Yang Masa Besar, Tuhan.
7) Kepuasan material di dunia sangat terbatas.
Manusia tidak akan pernah puas dengan materi. Jika sudah punya sepeda, ingin sepeda motor, Jika sudah punya sepeda motor ingin mobil. Begitu seterusnya.
8) Keyakinan tentang hari akhir adalah konsekuensi logis dari keyakinan tentang adanya Allah.
Allah Maha Adil. Semua perbuatan manusia pasti akan mendapat balasan yang setimpal dari Allah. Kalau tidak ada hari akhir (akhirat), bisakah kita merasa keadilan Allah terlaksana hanya di dunia?
E. FUNGSI AQIDAH ISLAM
1. Aqidah Sebagai Dasar Akhlak
Aqidah adalah sesuatu yang dipercayai dan diyakini kebenarannya oleh hati atau qalbu manusia, sebagaimana yang terdapat di dalam rukun iman.
• Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan siswa kepada Allah swt. Yang telah di tanamkan sejak usia di bangku sekolah dasar atau Madrasah Ibtidaiyah.
• Memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam keyakinan, pemahaman, dan pengamalan ajaran agama islam dalam kehidupan sehari-hari.
• Menangkal hal-hal negatif dari lingkungan atau dari budaya lain, yang dapat membahayakan diri siswa dan menghambat perkembangannya menuju manusia indonesia seutuhnya.
2. Akhlak dan Perilaku Sebagai Cermin Aqidah yang Benar
a. Adab terhadap Allah SWT.
b. Adab bergaul dengan ibu, bapakdankeluarga.
Agama islam mengajarkan agar kita selalu bersikap hormat dan sopan kepada semua orang yang lebih tua. Dari mereka yang sudah mengenyam lebih banyak pengalaman, kita memperoleh tambahan ilmu untuk bekal di masa depan.
c. Adab terhadap anak – anak.
Seorang muslim mengakui bahwa anak-anak mempunyai hak-hak atas orang tuanya, dan hak-hak tersebut wajib ditunaikan. Diantara hak-hak ats orang tuanya ialah menamakannya dengan nama yang baik, menyembelih kambing pada hari ketujuh kelahirannya, mengkhitankannya, mengasihinya, lembah-lembut terhadapnya, menafkahinya, mendidiknya dengan baik, serius mengajarkan ajaran-ajaran islam kepadanya dll.
d. Adab terhadap diri sendiri.
e. Adab berpakain dan memandang
Fungsi pakaian terutama sebagai penutup aurat, sekaligus sebagai perhiasan, memperindah jasmani seseorang.
Agama islam memerintahkan kepada setiap orang untuk berpakaian yang baik dan bagus. Baik berarti sesuai dengan fungsi pakaian itu sendiri, yaitu menutup aurat, dan bagus berarti cukup memadai serasi sebagai perhiasan tubuh yang sesuai dengan kemampuan si pemakai untuk memilikinya.untuk keperluan ibadah, misalnya untuk shalat di masjid, kita dianjurkan memakai pakaian yang baik dan suci.
Berpakaian bagi kaum wanita mukmin telah digariskan oleh Al Qur’an adalah menutup seluruh auratnya.Hal tersebut selain sebagai identitas mukminah, juga menghindari diri dari gangguan yang tidak diinginkan.
Pada dasarnya pakaian muslim tidak menghalangi pemakainya untuk melakukan kegiatan sehari-hari dalam bermasyarakat, semuanya kembali kepada niat si pemakainya dalam melaksanakan ajaran Allah swt.
f. Adab berbicara
Alat komunikasi yang paling utama dalam pergaulan adalah berbicara. Dengan berbicara kita bisa menympaikan keinginan, kehendak hati dan kebutuhan kita atau orang lain.
Agama islam mengajarkan kepada kita, agar selalu menjga lidah dan mulut kita dalam berbicara, agar pembicaraan kita tidak berakibat merugikan diri sendiri, juga orang lain. Pembicaraan harus di atur dan di piker terlebih dahulu sehingga dapat membawa manfaat.
g. Adab makan dan minum
Makan dan minum merupakan kebutuhan manusia untuk dapat bertahan hidup secara wajar dan sehat. Banyak aneka makanan yng digemari orang dengan aneka menunya, baik yang langung diambil dari alam, di olah dengan ketrampilan seorang juru masak, dan juga yang dibuat oleh pabrik.
Dari sekian jenis makanan dan minuman itu, kita dianjurkan oleh agama untuk memilih makanan dan minuman yang baik dan halal, dan benar-benar diperlukan untuk kesehatan tubuh kita, serta tidak boleh berlebih-lebihan.
h. Adab pergaulan sesama muslim dan sesama manusia.
Orang muslim menyakini bahwa saudara seagamanya mempunyai hak-hak dan etika yang harus ia terapkan terhadapnya, kemudian ia melaksanakannya kepada saudara seagamanya, karena ia berkeyakinan bahwa itu adalah ibadah kapada Allah swt. Dan upaya pendekatan kepada-Nya.
Diantara hak-hak dan etika-etika tersebut adalah sebagai berikut:
a) Mengucapkan salam apabila bertemu saudaranya.
b) Jika bersin mengucapkan “alhamdulillah”, maka mendoakan dengan berkata “yarhamukallahu” (mudah-mudahan Allah merahmatimu), kemudian orang yang bersin berkata “yaghfirullahu li wa laka” (semoga Allah memberi ampunan kepadaku dan kepadamu, atau ia berkata “yahdikumullah wa yushlihu baa lakum” (semoga Allah memberi petunjuk kepadamu dan memperbaiki hatimu).
c) Menjenguk apabila ada saudara yang sakit.
d) Menyaksikan jenazah saudaranya, jika meninggal dunia.
e) Membebaskan sumpah tetangganya, jika telah bersumpah terhadap sesuatu dan ia tidak di larang melakukannya, kemudian ia mengerjakan apa yang disumpahkan tetangganya itu untuknya, agar tetangganya tidak berdosa dalam sumpahnya.
f) Menasihatinya jika ia meminta nasihat kepadanya.
g) Mencintai orang lain sebagaimana mencintai dirinya.
h) Menolong dan tidak menelantarkannya kapan saja ia membutuhkan pertolongan dan dukungan.
i) Tidak menimpakan keburukan kepadanya.
3. Aqidah Islam Melahirkan Akhlak yang Baik
Dalam aqidah islam ditegaskan bahwa hanya Allahlah yang menciptakan, mengatur, mendidik alam semesta. Dengan demikian hanya Allahlah yang patut disembah, serta dimohon petunjuk dan pertolongan-Nya.
Penyembahan dan pengapdian seperti di atas hanya bisa dilakukan oleh orang yang berjiwa tahuid. Inilah aqidah islam yang mengajarkan tentang apa yang harus dilakukan oleh orang yang beriman.
Orang yang berakhlakul karimah juga akan memelihara perangai dan tata cara pergaulan sesuai dengan tuntunan agama.ucapan, perbuatan, perangai, dan tingkah laku yang baik merupakan amal shaleh, orang yang berakhlak baik akan selalu melakukan amal-amal shaleh
4. Kondisi Keimanan yang Bersifat Relatif.
Iman adalah keyakinan di dalam hati, di ucapkan oleh lisan dan diamalkan dengan anggota badan.hati, ucapkan, dan perbuatan itu harus saling mengisi.
Bertambahnya iman adalah dengan jalan memperbanyak dzikir, istighfar, tasbih, tahmid dan tahlil, serta melakukan ibadah baik yang langsung berhubungan dengan Allah atau yang bernilai sosial kemasyarakatan.
Iman itu dapat berkurang, jika orang selalu mengikuti nafsu jahatnya, sehingga ia cenderung melakukan kejahatan serta melanggar hukum-hukum Allah yang mengakibatkan hatinya menjadi keras.
Karena iman itu dapat bertambah dan dapat pula berkurang, maka kita harus memeliharanya agar jangan sampai berkurang.adapun salah satu cara untuk memelihara iman adalah dengan selalu ingat kepada Allah (menyebut Asma Allah).
F. DALIL TENTANG AQIDAH
1. Dalil tentang dasar akidah Islam
Manusia yang mengikuti petunjuk Al-Qur’an berarti telah memiliki akidah yang benar.Sebaliknya, manusia yang tidak mengikuti petunjuk-petunjuk Al-Qur’an tidak memiliki akidah yang benar.Sebagaimana firman Allah Swt, berikut.
Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengansesuatupun.” (Q.S. An-Nisa’: 36)
Allah memberi petunjuk kepada manusia untuk mengikuti kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah Saw, sebagaiman firman Allah Swt, berikut.
Artinya:“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”…. (Q.S. Al-Hasyr : 7)
2. Dalil tentang tujuan Aqidah Islam
Tujuan mempelajari akidah Islam dapat diuraikan dengan dalilnya, berikut.
a. Menghindarkan diri dari pengaruh kehidupan yang sesat,
Artinya:“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q.S. Ali-Imran : 31)
b. Mengetahui petunjuk yang benar sebagai pedoman agar dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk,
Artinya:“…Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…” (Q.S. Al-Baqarah : 185)
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
Aqidah adalah ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan, atau sebuah keyakinan. Keyakinan yang kokoh kepada Allah SWT dimana tidak ada keraguan di dalam dirinya. Yakin bahwa Allah itu Esa/ satu, dan tidak berbuat kafir atau menyekutukan Allah.
Aqidah Islam itu sendiri bersumber dari Al-Qur’an dan As Sunah serta Ijma’ dan Qiyas. Akal pikiran itu hanya digunakan untuk memahami apa yang terkandung pada kedua sumber aqidah tersebut yang mana wajib untuk diyakini dan diamalkan.
Atas dasar ini, akidah mencerminkan sebuah unsur kekuatan yang mampu menciptakan mu'jizat dan merealisasikan kemenangan-kemenangan besar di zaman permulaan Islam.
Aqidah sendiri berfungsi sebagai dasar akhlak dan perilaku yang mana sebagai cermin Aqidah yang Benar serta melahirkan Akhlak yang Baik.
0 comments:
Post a Comment